Selasa, 07 Oktober 2008

Uneg-uneg Mudik

Setelah menghabiskan liburan Lebaran, inilah hari pertama aku kerja. Aku ga tahu kenapa tapi rasanya lebih semangat berkerja dibanding hari-hari sebelum libur. Mungkin ini dampak psikologis dari liburan atau dampak positif dari Lebaran. Entahlah. Yang jelas aku sekarang lebih semangat.


Tapi yang juga menyenangkan bekerja di Bandung adalah hawanya yang cukup bersahabat. Paling tidak dibandingkan dengan hawa di kampungku, Paciran Lamongan. Paciran merupakan bagian kecil dari pulau jawa yang gerada di Jawa Timur.


Secara geografis, Paciran terletak persis di bibir laut Jawa dan dilalui Jalan Deandles, si Mas galak dari Belanda. Sepanjang jalan yang berada di tepi utara Paciran ini langsung terhubung dengan pantai, sehingga kalau melintas di Paciran sama dengan melihat langsung suasana laut.
Kembali soal suhu udara. Meskipun suhu di Bandung terus meningkat, tapi belum pernah melampui angka 34 derajad Celsius. Di Kampungku, suhu udara bisa mencapai 41 derajad Celsius. Di Bandung jam 12 siang rasanya sama dengan di kampungku jam 09.00 pagi panasnya.


Meski begitu, tak ada yang bisa menggantikan kampungku. Bagi banyak orang tentunya, kampung halaman adalah tempat terindah, betapa pun dia buruk rupa fisiknya. Kampung halaman adalah kampung nurani tempat jiwa kembali. Tempat hati merindu ketika kita pergi jauh. Secara konvensional, banyak yang memaknai pulang kampung atau mudik sebangun dengan pulang ke rumah'. Rumah di sini bermakna suasana rumah (home), bukan bangunan rumah (house). Betapapun tanpa bangunan rumah rasanya sulit kita menemukan suasana rumah.


Lantas apa esensi home? Saat berada di rumah, aku menmukan sebuah boneka Teddy Bear tergeletak di salah satu rak lemari. Di dada boneka milik keponekankkua, Nabila, itu tertulis: Home Is Where Mom Is. Benar belaka tulisan itu. Rumah adalah dimana ibu berada. Begitulah, sosok ibu menjadi episentrum daya tarik bagi kita untuk pulang. Ibu di sini tentu saja bisa dimaknai beragam. Ibu secara genetik yang melahirkan kita dari gua garbanya. Bisa juga tanah lahir (mother land) atau segala sesuatu yang membesarkan kita sehingga kita memiliki cukup keberanian untuk meninggalkan kampung halaman. Itulah ibu.



Sekali lagi, bagaimana pun kondisi kampung kita, kita selalu ingin pulang kesana. Terbayang betapa gelaisah dsan beratnya hidup ini saat kita rindu pulang sementara kita tak bisa pulang. Ini pula yang terjadi dengan ribuan korban lumpur Lapindo. Mereka ingin pulang tapi tak ada rumah maupun suasana rumah. Keangkuhan kapitalis telah merenggut rumah dan masa depan mereka.




Padahal, kampung halaman menjadi obat mujarab, saat hati gersang di negeri orang. Jalan, kuburan, pohon, dahan, keponakan, paman, teman, anak-anak teman, terutama ibu bapak menjadi oase saat kita pulang.
Tak ada yang bisa menggantikan sinar matahari pagi di kampung kita. Meskipun Albert Einstein akan bilang, sinar matahai di bumi ini datang dari matahari yang sama.



Tapi, bagiku, ada nuansa yang berbeda. yang membedakan tentu saja emosiku atas kampungku itu.
Maka, kuucapkan selamat pulang bagi kalian yang mudik saat Lebaran. Kini, mari bekerja keras agar tahun depan kita bisa mudik dan ber-Lebaran di kampung halaman.